Jakarta - Daerah Istimewa Yogyakarta paling berperan saat Republik Indonesia mengalami masa-masa sulit di masa awal kemerdekaan. Jutaan gulden dikucurkan dari kocek pribadi kraton untuk membayar para pegawai pemerintah tiga bulan pertama pemerintahan dipindah ke Yogya. Ibaratnya, Yogyakarta merawat bayi RI yang baru lahir.
'Kita hendaknya hargai sejarah, termasuk membalas budi kepada DIY, termasuk juga Sultan HB IX. Pada tahun 1945-1948 bahkan sampai awal 1949, Yogyakarta bagaikan bidan yang merawat bayi RI yang baru lahir,' kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, saat dihubungi detikcom, Selasa (30/11/2010).
Pada tahun-tahun tersebut, Ibukota Indonesia yang masih berada di Jakarta sedang dalam suasana mencekam. Ribuan orang tewas dibantai oleh Belanda, Jepang, dan bahkan penduduk pribumi sendiri hingga akhirnya Soekarno-Hatta pun mengungsi ke Yogyakarta.
'Bayangkan, Soekarno dan keluarganya bersama Hatta waktu itu ke Yogyakarta naik satu gerbong ke Yogya tanpa bawa apa-apa. Kemudian ditampung di Yogya oleh Sultan HB,' papar Asvi.
Tak cuma itu, para pegawai pemerintah pun saat itu yang menggaji adalah Kraton Yogya. Sedikitnya 5 juta gulden telah dikeluarkan oleh pihak kraton untuk menggaji para pegawai pemerintah kala itu.
'Kalau mau mencopot keistimewaan Yogyakarta, kembalikan dulu 5 juta gulden termasuk bunga-bunganya. Zaman dulu uang segitu banyak banget,' papar Asvi.
Bahkan, imbuh Asvi, saat Soekarno dan Hatta ditahan oleh pemerintah Belanda, baik Fatmawati Soekarno dan Rahmi Hatta, hidupnya juga masih dibiayai oleh Sultan HB IX. 'Ibu Rahmi Hatta mengakui diberi 300 gulden,' ujarnya.
RUU Keistimewaan DIY pertama kali diusulkan pada 2002 dan hingga kini belum juga diserahkan kepada DPR. Substansi kontroversial yang menyebabkan RUU ini tak juga beringsut adalah kemimpinan DIY apakah dipilih langsung atau ditetapkan.
Presiden SBY memerintahkan RUU itu intens digodok. Dia menyebutkan,'Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi.'
Statemen ini dimaknai bahwa SBY ingin Gubernur DIY dipilih lewat pilkada. Statemen itu juga disebut melukai perasaan warga Yogya.
'Kita hendaknya hargai sejarah, termasuk membalas budi kepada DIY, termasuk juga Sultan HB IX. Pada tahun 1945-1948 bahkan sampai awal 1949, Yogyakarta bagaikan bidan yang merawat bayi RI yang baru lahir,' kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, saat dihubungi detikcom, Selasa (30/11/2010).
Pada tahun-tahun tersebut, Ibukota Indonesia yang masih berada di Jakarta sedang dalam suasana mencekam. Ribuan orang tewas dibantai oleh Belanda, Jepang, dan bahkan penduduk pribumi sendiri hingga akhirnya Soekarno-Hatta pun mengungsi ke Yogyakarta.
'Bayangkan, Soekarno dan keluarganya bersama Hatta waktu itu ke Yogyakarta naik satu gerbong ke Yogya tanpa bawa apa-apa. Kemudian ditampung di Yogya oleh Sultan HB,' papar Asvi.
Tak cuma itu, para pegawai pemerintah pun saat itu yang menggaji adalah Kraton Yogya. Sedikitnya 5 juta gulden telah dikeluarkan oleh pihak kraton untuk menggaji para pegawai pemerintah kala itu.
'Kalau mau mencopot keistimewaan Yogyakarta, kembalikan dulu 5 juta gulden termasuk bunga-bunganya. Zaman dulu uang segitu banyak banget,' papar Asvi.
Bahkan, imbuh Asvi, saat Soekarno dan Hatta ditahan oleh pemerintah Belanda, baik Fatmawati Soekarno dan Rahmi Hatta, hidupnya juga masih dibiayai oleh Sultan HB IX. 'Ibu Rahmi Hatta mengakui diberi 300 gulden,' ujarnya.
RUU Keistimewaan DIY pertama kali diusulkan pada 2002 dan hingga kini belum juga diserahkan kepada DPR. Substansi kontroversial yang menyebabkan RUU ini tak juga beringsut adalah kemimpinan DIY apakah dipilih langsung atau ditetapkan.
Presiden SBY memerintahkan RUU itu intens digodok. Dia menyebutkan,'Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi.'
Statemen ini dimaknai bahwa SBY ingin Gubernur DIY dipilih lewat pilkada. Statemen itu juga disebut melukai perasaan warga Yogya.
0 comments:
Post a Comment